PERUBAHAN memang sebuah keniscayaan, terlebih dalam bidang bisnis dan pendidikan. Para futurolog sudah lama mengingatkan bahwa “satu-satunya kepastian dalam dua bidang tersebut adalah ketidakpastian alias perubahan”. Bahkan aneka perubahan di dunia tidak bersifat pelan (involutif) melainkan seringkali secara cepat (revolutif).
Revolusi itu dipicu oleh penemuan: seperti mesin uap (tahun 1800-an) yang mendorong munculnya kapal uap, kereta api, dan lainnya. Itulah Revolusi Industri 1.0. sekitar seratus berikutnya, yang disebut Revolusi Industri 2.0, ditandai oleh penemuan listrik dan assemby line yang memungkinkan produksi secara masif. Sedang Revolusi Industri 3.0 muncul tahun 2000-an akibat adanya inovasi teknologi informasi, komersialisasi personal computer, dan sebaginya. Yang sungguh tak terduga adalah Revolusi Industri 4.0 yang muncul hanya 15 tahun sesudahnya (sebelumnya durasi 100 tahun), dipicu oleh kegiatan manufaktur yang terintegrasi melalui teknologi wireless dan big data secara masif.
Setelah revolusi muncul istilah disrupsi yang secara singkat dapat dikatakan sebagai perubahan dahsyat dan tak teramalkan. Hal ini berbeda dengan tren yang memiliki pola-pola perubahan yang memungkinkan diprediksi karena lebih mudah diidentifikasi dan diikuti, kata Haryatmoko (2020). Dengan pandangan negatif, disrupsi digital dapat mengganggu, mengacau, atau proses yang menginterupsi program. Kalau dipandang secara optimistik (positif), disrupsi digital justru menjadi transformasi inovasi radikal. Ia merupakan sesuatu yang dinamis, merupakan perubahan kreatif karena perkembangan pesat teknologi digital dan model bisnis baru.
Empat Tantangan
Masih dalam buku Jalan baru Kepemimpinan & Pendidikan: Jawaban atas Tantangan Disrupsi-Inovatif (2020), filsuf Haryatmoko menyatakan bahwa gegara disrupsi-inovatif muncullah empat tantangan yang oleh Johansen (2017) dirumuskan secara karikatural dengan istilah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity dan Ambiguity) atau pergejolakan, ketidakpastian, kerumitan atau kompleksitas, dan kekaburan/ambiguitas.
Contoh aktual di level SMA, terutama milik pemerintah, adalah: perubahan kurikulum dan perubahan teknologi pembelajaran, juga kebijakan pemerintah yang menghadirkan kompetitor-kompetitor baru (pembukaan sekolah negeri dan/atau penambahan rombongan belajar). Akhir-akhir ini ada ketidakpastian yang sangat tinggi, yaitu tentang ketersediaan guru ASN, baik dari segi jumlah maupun kesesuaian bidang studinya. Betapa banyak Sekolah Negeri yang kekurangan guru karena yang ada dimutasi atau memasuki masa purna tugas, tetapi lama tidak kunjung datang pengganti. Padahal Manajemen Sekolah tidak diperkenankan mengangkat guru honorer.
Kompleksitas terutama berkait dengan administrasi kepegawaian (kenaikan pangkat pendidik). Tidak sedikit guru yang menjadi frustrasi karena kesulitan menembus golongan/pangkat di atasnya karena rumit dan kekurangjelasan standar dan seringkali tergantung nasib (bertemu tim penilai yang seperti apa).
Ambiguitas tampak pada kebijakan Kurikulum Merdeka yang sering terasa kurang memerdekakan guru dan sekolah. Wajib memilih dan mengimplementasikan atau tidak, kapan waktunya, dan kepastian tidak berubahnya manakala ganti Menteri Pendidikan nantinya.
Solusi Problema
Obat penyakit atau solusi problema VUCA adalah VUCA yang lain (Visionery, Understanding, Clarity, dan Agility), atau visioner, pemahaman, klaritas/kejelasan, dan agilitas/kelincahan. Di kalangan SMA, misalnya dapat dilakukan dengan: pertama, untuk menghadapi volatilitas Sekolah dapat mengadopsi dan mengadaptasi pendekatan manajemen yang lebih adaptif dan responsif, dan bukan hanya reaktif. Para guru dan staf musti memiliki – dan mengajarkan maupun meneladankan – cara berpikir cerdas memecahkan masalah (problem solving) dan mengambil keputusan (decision making) yang cepat dan tepat. Ini sesuai tuntutan karakter abad 21 creative thinking.
Kedua, untuk menghadapi ketidakpastian (uncertainty) pimpinan sekolah harus memberi ruang bereksperimen dan berinovasi kepada para guru, staf, dan peserta didik. Ketiga, demi menghadapi kompleksitas pimpinan sekolah mesti mempromosikan kolaborasi dan komunikasi. Model pembelajaran projek (seperti penguatan projek profil pelajar Pancasila, P5) jelas membiasakan kolaborasi. Keempat, problema ambiguitas dapat dihadapi dengan pemikiran kritis dan refleksi-evaluasi. Critical thinking terus dikembangkan.
Drs Ignas Suryadi Sw SE MPd MM
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMAN 1 Ngaglik Sleman